Masih ingat dengan
sosok Faiz? Kala itu Abdurrahman Faiz, nama lengkapnya, menjadi buah
bibir di kalangan sastrawan ketika ia menjuarai Lomba Menulis Surat
untuk Presiden tingkat Nasional yang diselenggarakan Dewan Kesenian
Jakarta (DKJ) pada tahun 2003. Dengan pembawaannya yang santai, bait
demi bait kata yang dilontarkan membuat mata yang menyaksikan terpukau.
Faiz membacakan puisi-puisinya yang pada saat itu belum dibukukan di
hadapan ratusan tokoh nasional atas undangan Nurcholis Majid pada
peluncuran buku beliau.
Faiz—putra sastrawan Helvy Tiana
Rosa—adalah bukti keberhasilan orang tua mengajak anak untuk mencintai
sastra sekaligus kesahihan bahwa sastra tidak hanya mutlak dipelajari
oleh orang dewasa. Sastra menjadi jembatan (gate) orang tua menanamkan
nilai-nilai kesopanan, religiusitas, keindahan, yang beradab dan
berbudaya kepada sang anak.
Namun, yang terpenting sebelum
mengenalkan sastra kepada anak, harus diawali dengan mengajarinya
membaca. Yah, membaca adalah tahapan mula yang mesti dilakukan agar
sastra yang dipelajari menjadi menyenangkan. Ini yang pelik, karena
derasnya arus teknologi informasi dan komunikasi (TIK) ‘memaksa’ para
orang tua memanjakan anak dengan benda-benda berbau digital. Sedangkan,
di sisi lain para orang tua merasa kesulitan mengajak anak untuk mau
membaca.
Yang pertama harus dilakukan, buat ruang tidurnya bak
penuh dengan buku-buku. “Saya menyiasatin kamar anak saya dengan
tempelan di seluruh dinding dan atapnya dengan gambar rak buku, sehingga
yang terekam di otak mereka adalah buku,” papar sastrawan Helvy Tiana
Rosa saat menjadi pembicara Talkshow Sosialisasi Bersama Sastrawan 2012
bersama Kepala Perpustakaan Nasional Sri Sularsih, novelis Agnes Davonar
dan Dosen Sastra dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Sam Muchtar
Chaniago yang dipandu presenter Vera Indriyani di Hotel Lumire, Jakarta,
Kamis, (22/11). Kegiatan tersebut dihadiri ratusan siswa-siswi SMP/SMU
se-jabodetabek, pustakawan dan masyarakat umum.
Tahapan
berikutnya ketika membacakan cerita jangan dituntaskan akhir ceritanya
(ending). Biarkan anak berimajinasi. “Hal itu membuat anak penasaran dan
memaksanya untuk membaca hingga selesai”, tambah Helvy. Helvy mengaku,
acapkali ia menerima lontaran pertanyaan kritis dari Faiz yang
membuatnya kagum. Dari situ, ia meyakini bahwa sastra sanggup mengajak
seseorang berpikir cerdas.
Di akui masyarakat kita belum memiliki
minat baca yang baik. Ini diperkuat dari temuan data Badan Pusat
Statistik di tahun 2009 yang menunjukkan indikasi minat baca masyarakat
Indonesia masih sangat rendah. Buku, belum menjadi sumber utama untuk
mendapatkan informasi. Rendahnya budaya membaca juga dirasakan para
pelajar dan mahasiswa. Perpustakaan—baik di sekolah maupun di
kampus—jarang dimanfaatkan secara optimal oleh siswa dan mahasiswa. Pun
demikian yang terjadi pada perpustakaan-perpustakaan di daerah yang
minim pengunjung.
Kepala Perpustakaan Nasional Sri Sularsih
mengakui perkembangan teknologi saat ini berperan dalam berkurangnya
minat generasi muda mendatangi perpustakaan. untuk itu, Kepala Perpusnas
meminta agar orang tua, guru, dan para pemangku kebijakan di daerah
mendorong generasi mdua mengunjungi perpustakaan.
Pengembangan
perpustakaan dan koleksinya harus terus dilakukan untuk membuat siswa
sukarela datang ke perpustakaan. “Sekolah wajib menganggarkan 5% dari
anggaran operasional untuk pengembangan perpustakaan” kata Sri dihadapan
peserta sosialisasi. Seperti diketahui membaca adalah hal yang sangat
penting bagi kemajuan suatu bangsa. Parameter kualitas sebuah bangsa
dilihat dari kondisi pendidikannya dan itu tidak terlepas dari
pentingnya membaca. Ilmu-ilmu yang ada di referensi, misalnya buku,
hanya bisa didapat dari membaca.
Pernyataan tersebut diperkuat
Dosen Fakultas Bahasa dan Sastra UNJ Sam Muchtar Chaniago yang
mengatakan bahwa persoalan membaca merupakan problem manusia sejak dulu.
Selama itu pula program untuk mengajak masyarakat membaca tidak akan
pernah habis. Ia pun menyoroti minimnya generasi muda ke perpustakaan.
Namun, itu bisa diakali dengan mewajibkan mereka mencari sumber
referensi tugas lewat buku. “Mencari informasi lewat internet bagus
karena praktis, tapi jangan lupa sumber awalnya, yaitu buku,” ujarnya.
Sam Muchtar juga meminta kegiatan pengembangan berbahasa tidak melulu
dilakukan di sekolah atau lembaga pendidikan lainnya, tapi juga melalui
perpustakaan seperti mendiskusikan isi buku (bedah buku), menulis
resensi, melakukan kajian pustaka, dan penelitian (analisis isi).
Sebagian
pengamat pendidikan menilai rendahnya ketertarikan siswa terhadap
membaca dan sastra, salah satu penyebabnya karena sekolah jarang
memberikan tugas membaca karya sastra. Jarang membaca dengan sendirinya
membuat minat terhadap sastra memudar. Padahal, sastra adalah salah satu
pembangun nasionalisme muda. Sastra merupakan bagian dari kesenian, dan
kesenian adalah unsur dari kebudayaan. Mempelajari sastra dengan hati
akan lebih nikmat.
Acara ditutup dengan pembacaan puisi cinta yang cukup memukau peserta oleh Helvy Tiana Rosa dan Sam Mukhtar Chaniago.***
Sumber: Perpustakaan Nasional RI
Home
»
Berita Pustaka
» Sosialisasi Perpusnas Bersama Sastrawan: Ajak Generasi Muda Kunjungi Perpustakaan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar